Kangen

Senin, 05 Desember 2011

Ku buka mata hati.........
Kau dekat disini..........
Walau jauh dari raga ini.....
Namun kumenanti hingga akhir......
     Kerinduan begitu pekat dalam hati.....
     Tak sanggup untukku menahan perih......
     Saat kau tak ada disini........
     Dan kuhanya menanti......
Kau dihatiku....
Adalah senandung kalbu......
Yang tetap tersdengar...
Dalam pekatnya rindu.....
     Hanya penantian......
     Menanti kau pulang.....
     Kembali disini...
     Untukku yang kau cinta....
Waktu terus bergulir....
Silih berganti....
Tapi aku hanya bisa menunggu dan menanti...
Kau datang padaku kasih.......

Pelajaran Bercinta Pertama


Pandangan Penuh Cinta

Seminggu setelah peristiwa di belakang panggung itu, Kino mengantar Susi ke sanggar Mba Rien. Sebelum berangkat, ia sudah bersumpah untuk tidak berlama-lama. Begitu sampai, ia akan segera melepas Susi dan kembali kerumah secepatnya. Kepada Susi ia telah pual berpesan agar tidak perlu diantar sampai pintu ruang latihan. Susi mencibir manja, tetapi tidak membantah ucapan kakaknya.
Namun semua rencana buyar ketika ternyata Kino berjumpa Mba Rien di gerbang halaman sanggar. Turun dari sepedanya, Kino tergagap menyampaikan salam kepada wanita yang tubuhnya memenuhi hayal Kino seminggu ini.
“Hai, Kino … lama sekali kamu tidak kelihatan. Kemana saja?” sambut Mba Rien riang.
“Sibuk, mbak..,” jawab Kino menunduk. Adiknya sudah turun dan berlari masuk.
“Wah… begitu sibuknya, sampai tidak sempat menonton Mba Rien lagi, ya!?” sergah Mba Rien sambil tersenyum manis. Kino menyahut dengan gumam tak jelas, dan menunduk seperti seorang pesakitan di hadapan polisi.
“Eh .. tidakkah kamu ingin melihat adikmu menari lengkap?” ucap Mba Rien lagi, dan tiba-tiba tangannya telah menyentuh tangan Kino. Tergagap, Kino menjawab sekenanya, tetapi entah apa isi jawaban itu, ia sendiri tak ingat!
“Hayo masuk, sekali ini kamu bisa melihat anak-anak menari sampai selesai!” kata Mba Rien yang kini sudah memegang erat satu tangan Kino dan menariknya masuk ke halaman sanggar. Kino tak kuasa menolak, dan dengan kikuk ia mengikuti langkah Mba Rien sambil menyeret sepedanya.
Mba Rien tidak memakai kain sore ini. Tubuhnya dibungkus rok span hitam dan hem kuning muda dengan leher V yang agak rendah. Ia juga tidak berdiri memberi contoh di depan anak-anak, melainkan duduk bersimpuh di lantai, di sebelah Kino yang bersila. Dari tempat mereka duduk, Kino bisa melihat anak-anak menari lengkap tanpa instruksi Mba Rien. Bagi Kino, anak-anak itu kelihatan seperti daun-daun kering yang berterbangan di tiup angin. Jauh sekali bedanya dibandingkan dengan jika yang menari adalah Mba Rien.
Kino melirik ke sebelah kanannya, tempat Mba Rien bersimpuh. Darahnya berdesir cepat melihat rok span wanita itu terangkat sampai setengah pahanya. Aduhai, pahanya mulus sekali, dihiasi bulu-bulu halus yang hampir tak tampak. Betisnya juga indah sekali, tidak terlalu besar, tetapi juga tampak kokoh karena sering berdiri lama ketika menari. Mba Rien sendiri sedang serius memperhatikan anak-anak menari, sehingga tidak menyadari bahwa remaja di sampingnya sedang sibuk menelan ludah!
Ketika suatu saat Mba Rien harus berganti posisi bersimpuhnya, Kino mencuri pandang lagi. Sekejap, ia bisa melihat seluruh pangkal paha Mba Rien. Celana dalam berwarna putih, tipis menerawangkan warna kehitaman di selangkangan, membuat Kino terkesiap. Cepat-cepat dialihkannya pandangan kembali ke tempat anak-anak menari.
Rien menoleh untuk menanyakan sesuatu, tetapi seketika ia melihat wajah Kino seperti kepiting rebus. Ah, ia tiba-tiba sadar akan posisi duduknya. Remaja yang sekarang sedang pura-pura memperhatikan tarian itu pasti tadi melihat rok ku tersingkap, pikir Rien menahan tawa. Minta ampun, remaja sekarang begitu cepat matang! Rien membatalkan keinginannya untuk menanyakan komentar Kino. Sebaliknya, ia malah bangkit membuat Kino memalingkan muka dengan wajah bersalah. Pikir Kino, jangan-jangan ia tahu aku tadi melihat pahanya.
“Kamu mau minum, Kino?” tanya Mba Rien setelah berdiri, dan tanpa menunggu jawab ia berkata lagi, “Yuk, ikut saya ambil minum di ruang sebelah.”
Kino bangkit dan mengikuti wanita pujaannya seperti kerbau dicucuk hidungnya. Entah kenapa, wanita ini tidak bisa kubantah! ucapnya dalam hati.
Ruangan itu terletak di sebelah ruangan latihan, berupa sebuah dapur lengkap dengan meja makannya. Ada sebuah lemari es besar, dan Mba Rien tampak sedang membukanya dan mengambil beberapa minuman botol. Kino berdiri tidak jauh di belakangnya, melihat dengan takjub tubuh yang agak membungkuk di depannya. Kepala Mba Rien tersembunyi di balik pintu lemari es, tetapi bagian belakang tubuhnya yang seksi terlihat nyata di mata Kino. Gila! Segalanya terlihat indah! umpat Kino dalam hati.
Kemudian mereka minum sambil duduk di kursi makan. Mba Rien menawarkan kue, tetapi Kino menolak halus. Mereka berbincang-bincang, atau lebih tepatnya Mba Rien bercerita tentang segala macam. Kino lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Entah kenapa, Rien sendiri merasa semakin dekat dengan remaja di hadapannya. Rien merasa bahwa Kino adalah adik lelaki yang tak pernah dimilikinya. Saudara kandungnya semua perempuan, dan tinggal di lain kota. Di sini ia hidup sendirian, di sebuah kamar indekos tak jauh dari sanggar.
Untuk Rien, Kino adalah remaja yang menyenangkan. Tidak berulah seperti kebanyakan remaja seusianya. Kino juga sopan, walaupun matanya sering nakal. Ah, seusia itu pastilah sedang mengalami kebangkitan gairah seksual. Ia ingat, pada usia seusia Kino dulu, ia juga mengalami “revolusi” yang sama. Saat itu, pikirannya tak lekang dari gairah seks dan lawan jenis. Kino pastilah tak berbeda, cuma ia sangat sopan dan pemalu.
Sore itu mereka berpisah karena latihan menari telah usai. Kino mengucapkan terimakasih atas suguhan Mba Rien, dan Rien melambai di gerbang sambil mengucap, “Jangan bosan kemari, ya, Kino!”
Ah, bagaimana aku bisa bosan? ujar Kino dalam hati.

Pelajaran Bercinta Pertama

Sebelumnya… Hubungan Rien dan Kino berkembang cepat bagai api membakar ilalang kering. Susi sudah tidak lagi latihan menari, karena kini ayah dan ibu menyuruh Susi lebih berkonsentrasi ke pelajaran sekolah. Ujian akan berlangsung tiga bulan lagi. Kino tidak lagi mengantar Susi, tetapi justru kunjungannya ke sanggar semakin sering!
Ada satu hal yang membuat mereka semakin dekat. Keduanya suka berenang, dan Rien dengan senang hati mengajak Kino ke pantai jika waktu senggang. Seperti kali ini, Kino pulang lebih cepat karena guru-gurunya harus berseminar di luar kota. Dari sekolah, Kino menuju sanggar untuk melihat kalau-kalau Mba Rien ingin berenang. Dan ternyata Rien memang sedang tidak berkegiatan, sedang sendirian membaca-baca majalah di sanggar.
“Berenang, yuk, Mba Rien..,” ajak Kino. Kini ia sudah berani mengajak duluan, setelah berkali-kali mereka berenang bersama di sungai, di kolam renang, maupun di pantai. Selama itu, mereka berenang bersama-sama dengan beberapa orang lainnya. Kadang-kadang bersama Dodi dan Iwan, sahabat Kino. Kadang-kadang bersama Niken, salah seorang penari di sanggar. Teman-teman Kino pun kini tahu, bahwa di antara Mba Rien dan Kino “ada apa-apa”. Tetapi mereka cuma bungkam, karena Kino pasti akan berang setiap kali topik itu diangkat dalam pembicaraan.
Siang itu mereka berenang berdua saja. Teman-teman Kino memilih memancing di danau di luar kota. Niken tidak ada di sanggar karena harus belanja ke pasar. Rien dengan senang hati menerima ajakan Kino, dan segera mengambil pakaian renang dan sepedanya.
Di pantai tidak banyak orang, karena ini memang bukan hari libur. Rien mengajak Kino ke sebuah bukit pasir yang dipenuhi semak, karena tempat itu jauh lebih sejuk di bandingkan tempat di mana orang-orang biasa berenang atau bermain pasir. Kino menurut saja. Mereka pun lalu berenang, bermain-main air dan saling berlomba mencapai batu karang di tengah laut. Mba Rien bukanlah perenang yang dapat diremehkan, begitu selalu kata Kino kepada teman-temannya. Tubuhnya gesit seperti ikan, dan tahan berenang berjam-jam.
Setelah puas berenang, mereka kembali berteduh di bawah semak-semak. Kino menggelar dua handuk lebar yang selalu dibawanya jika berenang ke pantai. Rien merebahkan tubuhnya yang penat di sebelah Kino yang juga sudah tergeletak kecapaian. Mereka terdiam mendengarkan debur ombak memecah pantai. Kino memejamkan mata dan merasakan otot-otot tubuhnya pegal dan sedikit linu.
“Kino..,” tiba-tiba Rien berucap, hampir tak terdengar.
“Hah?…” Kino kaget dan setengah bangkit. Mba Rien masih tergeletak dengan mata tertutup, tetapi bibirnya tersenyum.
“Ada apa, Mba?” tanya Kino.
“Aku mau tanya, tetapi kamu musti jawab yang jujur ya!” kata Mba Rien, masih memejamkan mata dan tersenyum. Kino cuma diam.
“Kino .., kamu senang melihat saya, bukan?” tanya Mba Rien pelan. Kino cuma diam, tak tahu harus menjawab apa. Di hadapannya tergeletak seorang wanita dewasa, dengan tubuh sempurna, basah oleh air laut, dan bertanya seperti itu! Apa jawabannya?
“Lho, kenapa diam?” sergah Mba Rien, kini membuka matanya, memandang Kino dengan sinar mata yang menembus kalbu. Kino menelan ludah, lalu menunduk.
Rien lalu bangkit, duduk bersila menghadap Kino yang kini juga sudah duduk dengan kepala agak menunduk. Lalu Rien melakukan sesuatu yang selama ini tak pernah terduga oleh Kino. Ia membuka pakaian renangnya, menanggalkan bagian atasnya, memperlihatkan buah dadanya yang ranum, putih mulus dan basah berkilauan! Aduhai indahnya dua bukit kenyal yang turun naik seirama nafas pemiliknya, dengan puncak yang dihiasi dua puting coklat kehitaman, berdiri tegak bagai menantang!
Kino mengangkat muka, pandangannya terpaku di kedua payudara indah di hadapannya. Mulutnya terkunci rapat. Rien tersenyum melihatnya, lalu dengan lembut digenggamnya kedua tangan Kino. “Jangan malu, Kino. Katakan kamu memang suka melihat tubuh saya, bukan?” ucapnya setengah berbisik. Kino menangguk pelan.
“Ingin menyentuhnya?” bisik Mba Rien lagi. Kino tergagap, mengangkat mukanya dan memandang wajah wanita di depannya tak percaya. Tetapi di wajah itu ada sepasang mata yang sangat sejuk, bagai danau di kaki bukit tempat teman-temannya biasa memancing. Sebuah hamparan air yang tampak tenang meneduhkan hatinya yang bergejolak.
“Apa maksud, Mba Rien?” ucap Kino tersekat.
“Tidak inginkah kamu menyentuh dadaku?” jawab Mba Rien, genggaman tangannya semakin kuat, dan kini perlahan-lahan mengangkat tangan Kino. Tersenyum lagi, Rien merasa betapa kedua tangan itu bergetar. Cepat-cepat kemudian ia meletakkan kedua tangan Kino di dadanya, di puncak-puncak payudaranya yang membusung. Kino segera menarik kembali tangannya, bagai menyentuh benda bertegangan listrik. Rien tertawa kecil.
“Hayo, pegang lagi…,” ucapnya ringan. Diraihnya lagi kedua tangan Kino dan diletakkannya kembali di atas payudaranya. Kali ini Kino tak menarik tangannya, dan membiarkan kedua telapak tangannya menerima sebuah kelembutan, kehangatan, kekenyalan, dan entah apa lagi …. semuanya serba menakjubkan. Pelan-pelan, Kino mulai memegang lebih erat, menempelkan seluruh telapaknya di puncak-puncak payudara Mba Rien. Baru kali ini, setelah lepas dari susu ibunya 13 tahun yang lalu, Kino memegang kembali payudara seorang wanita!
“Senang?” tanya Mba Rien, masih dengan suaranya yang setengah berbisik, setengah menuntut. Kino hanya bisa mengangguk dan menatap lekat mata Mba Rien, seakan-akan hanya dari kedua mata itulah ia bisa memiliki kekuatan untuk hidup saat ini.
Lalu Mba Rien menurunkan tangan Kino, mengenakan kembali pakaian renangnya, dan mengusap lembut wajah Kino. “Kamu sekarang sudah dewasa, Kino!” ucapnya riang, sambil bangkit dan menarik tangan Kino untuk ikut berdiri. Lalu ia berlari, menyeret Kino kembali ke laut, terjun sambil berteriak riang, dan melesat meninggalkan Kino menuju batu karang di tengah.
Kino merasa tubuhnya yang panas bagai bara dicelupkan ke dalam air dingin, segera memadamkan api yang tadinya sudah hampir membesar. Kino menyelam sedalam-dalamnya, seakan-akan hendak bersembunyi dari rasa malu yang tiba-tiba mengukungnya. Tapi kemudian ia segera timbul kembali, segera bersemangat lagi mengejar wanita yang baru saja memberinya pelajaran sangat berharga dalam hidup ini. Aku telah dewasa! jeritnya dalam hati.